April 30, 2010

Teknologi Informasi : Memberdayakan Industri Kreatif, Memajukan Bangsa

Perkembangan Teknologi Informasi mengalami evolusi yang cukup panjang. Diawali Era Komputerisasi tahun 1960-an , Era Teknologi Informasi tahun 1970-an, Era Sistem Informasi tahun 1980-an dan terakhir Era Globalisasi Informasi pada awal tahun 1990-an sampai sekarang. Setiap era memiliki ciri, teknologi, fungsi dan tujuan yang berbeda. Selengkapnya dapat dilihat dari table berikut ini :

Saat ini kita sedang memasuki Era Globalisasi Informasi. Era dimana teknologi yang digunakan adalah Computer Networking System yaitu sebuah system yang terdiri atas computer dan perangkat jaringan lainnya yang bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu tujuan yang sama dan berfungsi untuk adaptasi. Aplikasi dari era ini adalah penerapan teknologi Local Area Network (LAN), Wide Area Network (WAN), internet, intranet dan ekstranet dengan tujuan akhir : Memenangkan Persaingan Global.

Persaingan global sudah tidak dapat dibendung lagi. Mau tidak mau kita harus terlibat atau terseret arus globalisasi. Termasuk didalamnya Globalisasi Informasi. Contohnya adalah Internet. 20 tahun lalu orang masih sulit mengakses internet. Warnet (Warung Internet) masih jarang dan koneksi masih mahal. Tapi kini, hampir setiap rumah, kantor, sekolah sudah tersambung koneksi internet. Bahkan pemerintah mempunyai program internet masuk desa. Demikian juga warnet yang mudah ditemui disetiap sudut kota. Dan yang lebih canggih lagi, internet sudah bisa diakses lewat telepon selular (ponsel). Inilah yang dimaksud fungsi adaptasi. Kolaborasi antara computer dan ponsel sudah semakin berkembang. Kini, dengan internet kita bisa membaca Koran lewat e-paper, mengecek rekening atau membayar tagihan lewat internet banking, berbelanja dengan e-commerce, mengecek kondisi lalu lintas lewat CCTV di internet dan sebagainya. Dengan internet, kita bisa mendapat kemudahan dalam berbagai hal.

Namun, sampai sejauh mana pemanfaatan teknologi informasi masih patut dipertanyakan. ibarat dua sisi mata pisau yang tajam. Satu bisa membantu dan satu lagi bisa membahayakan. Internet dengan segala manfaat dan kemudahan seperti yang dipaparkan diatas, juga menyisakan sisi yang cukup mengkhawatirkan. Konten porno merajalela dan banyak merusak moral anak-anak remaja. Untungnya pemerintah cepat tanggap dan banyak memblokir konten-konten tersebut. Selain itu juga ada Carding, transaksi bisnis illegal yang banyak dilakukan oleh mahasiswa dengan menggunakan kartu kredit milik orang lain. Beberapa waktu lalu memang sempat mengkhawarkan para pemilik kartu kredit, namun kini sudah dapat diatasi oleh pihak yang berwenang. Dua kasus diatas hanyalah contoh, masih banyak kejahatan-kejahatan yang bisa dilakukan lewat internet.

Terlepas dari kondisi diatas, perkembangan teknologi informasi di Indonesia menuju arah positif. Banyak orang-orang yang bergerak di bidang IT (developers) menciptakan program-program yang bermanfaat. Kini kita bukan hanya sebagai konsumen, tapi juga bisa sebagai produsen. Demikian pula dengan yang sedang booming lima tahun terakhir ini yaitu BLOG. Kini, hampir setiap orang yang mempunyai akses internet memiliki blog pribadi. Bahkan bisa lebih dari satu account. Kemudahan dalam membuat blog, membuat orang berlomba untuk membuat blog yang menarik, unik dan menguntungkan.

Sebuah Blog bisa menghasilkan uang apabila blog tersebut banyak dikunjungi oleh pengakses internet. Dengan memasang iklan dari publisher, pemilik blog tersebut tinggal menunggu hasilnya saja berupa kiriman cek dari pemasang iklan. Cukup banyak orang yang berbisnis dibidang ini, walau dengan ilmu IT yang terbatas, namun berkat perjuangan dan kreatifitas mereka akhirnya bisa berhasil. Cukup banyak yang menjadikan kegiatan ini menjadi sebuah profesi.

Selain itu, saat ini juga sedang booming contest blog. Cukup banyak perusahaan yang melakukan kontes ini untuk mempromosikan produk-produknya, tentu dengan hadiah yang cukup menggiurkan, mulai dari gratis hosting sampai berhadiah rumah. Tentu saja ini akan banyak menarik blogger untuk menjadi lebih kreatif dan inovatif. Kiprah blogger pun saat ini bukan hanya mengikuti kontes level local dan nasional saja, tapi sudah mencapai level internasional. Seperti baru-baru ini diadakan kontes blog untuk level asia pasifik, Indonesia meloloskan 8 bloggernya untuk masuk 20 besar dan salah satu berhasil menjadi pemenang utama kontes itu. Ini hanya sebuah contoh masih banyak blogger lainnya yang bisa mencapai level internasional.

Selain blog contest ada juga lomba Search Engine Optimizer (SEO). Lomba ini menuntuk kreatifitas pemilik blog agar dengan kata kunci tertentu bisa menempati urutan pertama di halaman google search. Lomba ini juga cukup banyak penggemarnya dan menjadi tantangan tersendiri bagi para blogger. Untuk perorangan, salah seorang teman di jaringan social baru saja diundang oleh Microsoft karena berhasil mengintegrasikan Windows 7 dengan sebuah jaringan social.

Kasus diatas hanyalah contoh kecil dari perkembangan dunia teknologi informasi. Masih banyak yang bisa dieksploitasi dari dunia maya ini.

Kreatifitas blogger, praktisi IT, programmer di Indonesia kapabilitasnya tidak perlu diragukan lagi. Potensi mereka sungguh luar biasa. Pemerintah perlu mendukung dengan menyediakan infrastruktur yang memadai, jaringan yang luas serta akses yang mudah dan murah. Jaringan internet seharusnya sudah seperti jaringan listrik yang sudah menembus pelosok negeri. Malah jaringan internet lebih mudah karena menggunakan perangkat wireless. Bila dibandingkan dengan negara lain, biaya akses internet di Indonesia termasuk mahal. Demikian pula dengan perangkat hardware computer atau notebook termasuk perangkat pendukungnya. Sepertinya barang ini sudah bukan termasuk barang mewah lagi, karena sudah termasuk kebutuhan standar. Untuk itu tidak perlu dikenakan pajak lagi.

Bila infrastruktur sudah terbangun, blankspot sudah tidak ada, akses cepat dan murah, kita tinggal menunggu waktu saja kebangkitan para praktisi dibidang IT. Saya yakin mereka akan lebih banyak berperan di level internasional, para developer akan berlomba-lomba menemukan inovasi terbaru, para blogger akan semakin bergairah dan kreatif untuk ikut suatu lomba atau kontes. Dan Bangsa Indonesia sudah bisa disejajarkan dengan negara-negara lain dibidang Teknologi Informasi.

Kiat Sukses Pilkada: Kolaborasi Politikus dan Artis?

Trend pemilihan kepala daerah saat ini adalah kolaborasi antara politikus sebagai calon kepala daerah dan artis sebagai wakilnya. Politikus memiliki partai politik sebagai kendaraan politiknya, sementara sang artis memiliki popularitas. Succes story kolaborasi ini adalah pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf alias HADE yang sukses memenangkan pilkada Jawa Barat. Selain itu ada Aceng Fikri-Dicky Chandra yang menjadi Bupati dan Wakil Bupati Garut. Juga Rano Karno yang menjadi Wakil Bupati Kabupaten Tangerang. Namun diantara yang berhasil, ada juga yang gagal yaitu Helmi Yahya yang gagal menjadi Wakil Gubernur Sumatera Selatan.
Fenomena ini tentu saja menarik perhatian calon yang akan maju menjadi kepala daerah. Biasanya mereka membidik calon wakil yang cukup populer dari kalangan artis. Sebut saja ada Ayu Azhari, Julia Perez dan Maria Eva. Namun daya tolak terhadap mereka cukup tinggi, terutama dari kaum ibu. Mereka memiliki track record yang kurang baik seperti mantan artis panas, artis berpenampilan minimalis dan wanita pengganggu suami orang..
Sebenernya sah-sah saja mencalonkan artis menjadi politikus. Namun perlu dilihat latar belakang, pengalaman dan Curriculum Vitae artis tersebut. Dede Yusuf tidak semata-mata langsung jadi calon wakil gubernur. Sebelumnya ia sempat menjadi anggota DPRD lewat Partai Amanat Nasional (PAN). Demikian juga Rano Karno dengan bendera PDI Perjuangan. Jadi perjuangan mereka cukup panjang dan tidak didapat dengan cara instan. Sedangkan Ayu Azhari, Jupe dan Maria Eva, pengalaman dan CV-nya dari mana? Jangankan memenangkan pilkada, sebelum daftar dan kampanye saja sudah menjadi bulan-bulanan dan cemoohan masyarakat.

Untuk itu, kepada para artis, hati-hati dalam menerima pinangan dari partai politik, jangan-jangan mereka hanya memanfaatkan popularitas, fulus dan kemulusan Anda saja.

@krl pakuan jkt-bgr 27/04/10 18.30

Tulisan ini uga dimuat disini : http://polhukam.kompasiana.com/2010/04/27/kiat-sukses-pilkada-kolaborasi-politikus-dan-artis/

April 02, 2010

The Sheep Cup


Every year towards our Independence Day which we call the 17thcelebrations, our housing complex always held a mini football competition with the grand prize of a sheep/goat. This was why it was called the Sheep Cup.

Our complex was a small one which consisted of no more than 200 families that form 1 ward and 4 RT’s (neighborhood watch group). Therefore, this competition went directly to the semifinal matches. The categories in the competition were adult and teenager football. Different from the inter-kampong competition whereby outside players are allowed to play, our committee specified that no team was allowed to bring outsiders. He must be residents of the complex, and must even present his ID card if necessary.

The committee put an effort to hold the competition as closely to the applicable standards as possible. However, due to the size of the field, the number of participants was not the regular 11, but reduced to 6. Hence a mini football competition was organized. It was not futsal since the field was outdoors, using conventional football regulations.

The event was kicked off with the teenagers. The requirements for this category were junior high and high school students. The funny thing was that their jerseys didn’t match one another. There were shirts from Manchester United, Arsenal, Barcelona and other beloved teams. Unfortunately there was no one who donned the national team or local club jersey. It appeared that they were more proud wearing a Wayne Rooney or Ronaldo uniform rather than that of Ponaryo or Bambang Pamungkas. How could this happen? Was it because their sense of nationalism had faded? Where was the pride in “Garuda on My Chest”? It didn’t appear to be so. They were chosen because of the trend. Their love for the national team still existed although its achievements have been going downhill.

Teens Team

One game after another came and went with much spectacle. Goals were scored with various celebratory acts. There were those who sucked their thumb like Totti of AS Roma or taking off their shirt as would the Italian players. The referee then gave out yellow cards since taking off one’s shirt was prohibited. There were those who handled the ball like Ronaldo or demonstrated their skill dribbling the ball by passing several players. The competition was interesting and most importantly, it was fair play. No one tried to inflict injury on opponents or dispute the referee’s decisions.In the end, we reached the finals. The game was very tough and had to be ended in penalty kicks. The event was won by the teenagers’ team of RT 03 that defeated RT 02 with the score 5-3.

Now the adult division was finally here. With the far-from-ideal body types (potbellied and the likes), bespectacled and limited breathing, the competition had only become more interesting. It was an entertainment unto its own league for their wives and children. They laughed out loud when their husbands and fathers went running, slipped and fell down or when they scored a goal.

The children showed more fair play than did the adults. The ball was chased after with whatever means, from pulling shirts to pulling opponents’ shorts without causing injuries. The norm is that professional players would ask for more time, but here, the players wanted shorter play time since they were exhausted and ran out of breath!

Finally, the team that had more substitute players clinched the victory. In other words, whenever their colleague was tired, there was always a substitute who would replace him. The amount of player changes was not limited because every resident was allowed to play. In the finals, RT 02 defeated RT 03 by 3-1 and had the right to carry home a sheep.

Adults Team

That was the football competition in our housing complex. It wasn’t exactly a competition. Rather, Footballaria would have been more proper. It wasn’t the victory nor the trophy that we were seeking, but the entertainment aspect of it and the opportunity to get together with our neighbors so that we become more familiar with each other.

In the evening, we all savored roasted sheep together.

(Submitted by Harris Maulana from Indonesia)


Catatan Penulis:

Tulisan ini termasuk dalam Top 20 lomba penulisan mengenai sepakbola di daerah ku yang diselenggarakan oleh kompasiana.com dan Sony Ericsson Asia Pacific, pemenang utama akan berangkat ke Afrika Selatan untuk menonton Piala Dunia 2010.

Mohon dukungannnya dan pilih artikel ini di http://extratime.posterous.com/the-sheep-cup-2

Pengumuman tanggal 6 Mei 2010 tulisan ini berhasil menjadi Runner Up :

http://blog.kompasiana.com/2010/05/06/pemenang-topik-pilihan-sony-ericsson-sepak-bola-daerahku/

Terima kasih atas dukungannya