August 20, 2010

Efektifkah Kereta Khusus Wanita?

Hari kamis tanggal 19 Agustus 2010, Menteri Perhubungan Freddy Numberi dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menneg PP-PA) Ibu Linda Gumelar meresmikan Kereta Khusus Wanita (KKW) di Depok. KKW ini rencananya akan ditempatkan di gerbong 1 dan 8 di setiap kereta AC ekspess dan ekonomi AC untuk jurusan Jakarta, Bogor, Bekasi dan Serpong.

Namun efektifkan pelaksanaan KKW ini? Belum sehari diresmikan, ketika saya melakukan perjalanan pulang ke Bogor menggunakan kereta Tanah Abang - Bogor, sudah ditemukan banyak laki-laki yang duduk manis di gerbang KKW tersebut. Mungkin banyak yang belum sadar adanya kereta khusus wanita tersebut atau pura-pura tidak sadar?

Suasana di Kereta Khusus Wanita, kamis 19 Agustus 2010

Sesungguhnya KKW ini pernah diterapkan oleh PT KAI beberapa tahun yang lalu, namun hanya bertahan beberapa bulan dan program ini hilang begitu saja. Mungkin salah satunya adalah karena tidak efektif penggunaannya.

Ada beberapa kritik yang ingin saya sampaikan dengan adanya KKW ini :

1. Mengapa namanya Kereta Khusus Wanita? konotasinya seluruh rangkaian kereta diperuntukkan bagi wanita. Nama lain yang lebih cocok mungkin Gerbong Khusus Wanita.

2. Mengapa ditempatkan di gerbong 1 dan 8 yang merupakan gerbong paling depan dan paling belakang? Jika seandainya - maaf - terjadi tabrakan, merekalah yang menjadi korban pertama kecelakaan tersebut, baik saat menabrak ataupun ditabrak. Bukankah tujuan diadakannya KKW ini untuk kenyamanan dan keamanan wanita saat naik kereta? Sebaiknya kebijakan ini ditinjau dan bisa saja ditempatkan di gerbong tengah di gerbong 4 dan 5.

3. Kebijakan KKW hanya khusus untuk kereta ekspess AC dan Ekonomi AC. Mengapa tidak dilakukan di kereta ekonomi? Jika tujuannya untuk menghindari pelecehan seksual, justru hal itu banyak terjadi di kereta ekonomi. Dengan padatnya penumpang yang masuk dalam kereta ekonomi tersebut (9 orang/meter persegi), justru menjadi tempat yang empuk untuk melakukan pelecehan seksual. Dari pantauan yang saya lihat sehari-hari, kereta ekonomi sangat tidak manusiawi. Tidak heran jika banyak penumpang yang naik ke lantai 2 (atap gerbong) karena padatnya penumpang di gerbong bawah.

4. Masih banyak penumpang yang belum mengetahui adanya KKW, sebaiknya gerbong tersebut dicat warna khas wanita (merah muda), baik interior maupun eksterior gerbong. Sementara saat ini hanya berupa poster yang ditempelkan didalam kereta yang sepintas mirip sebuah iklan.

Salam Kereta

August 10, 2010

Depok +93




kunjungi : lomba blog depok



Hampir setiap hari selalu melawati kota Depok. Memiliki tempat tinggal di Kota Bogor membuat saya harus pergi-pulang ke Jakarta setiap hari untuk bekerja, kecuali hari sabtu-minggu, tentu saja. Adapun transportasi yang saya gunakan adalah Kereta Rel Listrik (KRL) Jabodetabek sehingga mau tidak mau harus melewati kota ini. “Depok +93”. Itulah tanda jika kita akan memasuki Stasiun Depok. +93 sendiri menunjukkan bahwa stasiun tersebut berada di ketinggian 93 meter diatas permukaan laut.



Uploaded with ImageShack.us

Suasana Stasiun Depok di pagi hari

Berdasarkan pandangan mata setiap hari yang terlihat, jumlah penumpang KRL Jabodetabek Kota Depok sepertinya lebih banyak dibandingkan dengan Kota Bogor. Hal ini terlihat dari jumlah penumpang saat berangkat dari Stasiun Bogor. Kondisi cukup padat, semua bangku penuh, ada beberapa orang yang berdiri. Namun setelah masuk Stasiun Depok Lama kereta menjadi padat , gerbong penuh dengan orang yang berdiri. Memasuki Stasiun Depok Baru kereta bertambah padat, orang yang berdiripun semakin rapat. Kereta yang sudah penuh sesak masih saja dimasuki penumpang yang mungkin takut terlambat masuk kantor. Itu yang terjadi di kereta Pakuan Express ber-AC. Saya tidak bisa membayangkan apa yang terjadi di kereta Ekonomi. Namun dari apa yang saya lihat saat jam-jam puncak, lantai 2 pun (baca: atap gerbong) penuh oleh penumpang yang tidak kebagian tempat di gerbong utama. Padahal sudah ada kereta Depok Ekspess dan Ekonomi -AC Depok yang melayani penumpang dari Stasiun Depok, namun mungkin masih belum cukup akibat banyaknya penumpang asal Depok dan sekitarnya.
Begitu pula sebaliknya saat jam kantor selesai. Di Stasiun Dukun Atas (atau Stasiun Sudirman), dimana saya naik, selalu padat. Namun ketika memasuki Stasiun Depok Baru, jumlah penumpang berkurang drastis sekitar 50% dan berkurang lagi saat berhenti di Stasiun Depok Lama. Dan saat kereta menuju Stasiun Bogor jumlah penumpang kembali normal. Bahkan beberapa tempat duduk ada yang kosong.
Saat kereta penuh sesak dijejali penumpang yang akan kembali pulang, saya melihat kepedulian salah seorang wanita yang trenyuh melihat seorang ibu yang sedang hamil tua berdiri ditengah padatnya para penumpang. Sementara bangku khusus yang disediakan untuk orangtua, ibu hamil dan orang cacat, sudah terisi oleh beberapa pria yang sudah tertidur. Akhirnya dia pun berdiri merelakan tempat duduknya untuk sang ibu hamil.
“Terima kasih ya neng!” begitu ucap sang ibu hamil ketika diberikan tempat duduk.
“Nggak apa-apa bu, saya deket kok, saya turun di Depok” jawab sang wanita yang akhirnya berdiri tepat didepan ibu hamil, persis disamping saya.
Percakapan dengan ibu hamil berlanjut. Ternyata sang wanita adalah seorang mahasiswi yang baru lulus dan langsung diterima kerja di sebuah kantor di bilangan Sudirman Jakarta. Harga sewa kos dan biaya hidup yang murah, menjadi pertimbangan baginya untuk tetap tinggal di Depok. Selain itu, lanjut sang wanita, sudah terlanjut cinta dengan kota yang memiliki julukan kota belimbing itu. Empat tahun waktu dihabiskannya saat kuliah tidak terasa telah berakhir. Rencananya, sambil bekerja, dia akan mencari beasiswa untuk melanjutkan kuliahnya ke jenjang S-2 di kampusnya yang dikenal sebagai kampus perjuangan itu.
Depok baginya sudah seperti rumah kedua. Orangtuanya tinggal di Lampung. Semenjak kuliah dia hidup mandiri sebagai mahasiswi. Kota ini seperti sebuah kota metropolitan namun dalam skala kecil. Hampir segalanya ada disini. Mulai dari sekolah dasar sampai pendidikan tinggi bertebaran dimana-mana. Atau tempat belanja mulai pasar tradisional sampai mall ada disini. Termasuk perumahan, mulai dari perumnas, real estate sampai apartemen. Jika ingin kulineran semua ada di Jalan Margonda Raya walaupun kerap dilanda kemacetan. Semua itu sudah lebih dari cukup baginya, walaupun kadang-kadang sering dijengkelkan oleh kemacetan yang sudah menyebar kemana-mana. Ada satu yang dikhawatirkan oleh wanita yang ternyata bernama Ayu ini, dia khawatir Kota Depok yang multi etnis, akan tumbuh menjadi kota yang individualistis, sebagaimana layaknya kota metropolitan yang sudah tidak peduli dengan lingkungan sekitar termasuk dengan tetangga terdekat bahkan kota tempat tinggalnya sekalipun.
Ayu selalu berusaha peduli dengan lingkungan sekitarnya dan menyebarkan “virus-virus” kepeduliannya dengan teman dan tetangga dekatnya. Setiap dia pulang kampung, tetangganya pasti dibawakan oleh-oleh walaupun cuma sekedar keripik pisang rasa coklat khas daerahnya. Atau ikut berpartisipasi dalam acara Tujuhbelasan walaupun cuma sebagai tim hore. Lain waktu kerja bhakti membersihkan got juga dilakoninya.
Tanpa terasa kereta sudah sampai di Stasiun Depok Baru dan Ayu pun segera bergegas turun dan menghilang ditengah kerumunan orang yang akan kembali pulang ke rumah masing-masing.
Semoga kepedulian seorang Ayu, menjadi gambaran masyarakat Depok secara keseluruhan. Seseorang yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi, senang berbagi dengan sesama dan selalu mencintai kota yang kini ditinggalinya.
Dan tulisan “Depok +93” pun terlewati, kereta melaju kencang menuju Bogor.

August 09, 2010

Membedah “Pak Beye dan Istananya”

Buku “Pak Beye dan Istananya” karya Kompasianer Wisnu Nugroho, atau lebih akrab dipanggil Mas Inu secara resmi diluncurkan tanggal 4 Agustus 2010 pukul 14.00 WIB di Fab Cafe, Gramedia Grand Indonesia, Jakarta. Peluncuran yang juga dihadiri oleh sekitar 50 kompasianers dan teman-teman Mas Inu sesama wartawan istana, dilanjutkan dengan acara bedah buku tersebut. Adapun yang menjadi pembedah buku tersebut adalah Bang Effendi Ghazali - seorang pakar komunikasi politik yang ngetop lewat Republik Mimpi, Mbak Linda Djalil - mantan wartawati istana dan Kang Pepih Nugraha- founding father Kompasiana.


Mas Inu, wartawan Kompas yang selalu lupa memencet tombol “shift” ketika menulis di Kompasiana (karena tulisannya huruf kecil semua), mencoba menulis tentang sisi tidak penting dari seorang presiden SBY. Menurutnya berita penting sudah banyak dipublikasikan oleh media lainnya. Maka, ketika kita menbaca buku ini, sepertinya peristiwa tersebut tidak kita temukan di media lain, kecuali di Kompasiana tentunya, karena materi tulisan ini merupakan kumpulan tulisan yang dipublikasikan di media tersebut.

Awalnya kumpulan tulisan ringan tersebut tidak direncanakan akan dibuat menjadi sebuah buku, namun berkat “provokasi” Kang Pepih yang melihat ada sesuatu yang “luar biasa” dari catatan remeh-temeh ini, akhirnya Mas Inu rela kumpulan tulisannnya dijadikan buku. Bahkan rencananya akan dibuat 4 (empat) buah buku dalam bentuk Tetralogi.

Mas Inu menjelaskan, dia ingin membagi keresahan yang dialaminya saat meliput diistana, ada sesuatu yang menjadi misteri yang hingga kini belum terungkap, dia tidak ingin resah sendirian dan ingin berbagi keresahan dengan pembaca. Adapun nama Pak Beye adalah nama pemberian Pak Mayar, seorang buruh ladang di Cikeas Udik, tetangga dekat Pak SBY di Cikeas. Nama “Pak Beye” cukup ngetop seiring dengan deklarasi Kerakyatan di kediaman Pak Mayar yang diusung Koalisi Kerakyatan untuk menandingi koalisi Kebangsaan yang diusung rival politiknya. Alasan lain adalah beberapa hal unik yang perlu di share seperti kendaraan-kendaraan mewah yang keluar-masuk istana, milik siapa? ada apa? ini yang menjadi keresahan Mas Inu. Sampai tukang masak dan tukang pijit pak beye tidak luput dari bidikan Mas Inu yang hobi bersepeda (lipat) ini.

Mas Inu didampingi Tina Talisa saat memberikan alasan membuat buku Tetralogi Pak Beye

Kang Pepih dalam testimoninya mengatakan, awal ketertarikannya terhadap tulisan Mas Inu setelah membaca status Facebook-nya. Statusnya yang berisi hal-hal kecil tentang istana sepertinya menarik minat Kang Pepih untuk dipublish di Kompasiana. Mulai dari sepatu pejabat yang dibungkus sampai angka-angka misterius di istana. Dan sejak saat itu Mas Inu menjadi penulis aktif di Kompasiana.

Lain lagi dengan yang diungkapkan oleh Bung Effendi Ghazali. Bung EG menyatakan bahwa buku ini luar biasa. Buku ini merupakan sebuah buku komunikasi politik untuk membongkar pencitraan. Seharusnya bisa lebih heboh dan lebih berbahaya dari buku Gurita Cikeas karena buku ini lebih mengungkapkan lewat fakta dan gambar berupa foto. Sedangkan buku Gurita Cikeas hanya mengungkapkan data-data dari berbagai sumber. Jadi sebaiknya segera membeli buku ini sebelum ada yang memborongnya, kelakar Bung EG disambut tawa para undangan.

Pernyataan ini diamini oleh Mbak Linda Djalil. Bukti-bukti foto merupakan bukti otentik yang tidak terbantahkan. Foto-foto kendaraaan mewah, kasur sampai koki sepertinya mengungkapkan sisi kenakalan seorang Wisnu Nugroho. Ruarr Binasa, seloroh Mbak Linda. Baginya kamera adalah nyawa kedua bagi seorang wartawan termasuk wartawan tulis seperti dirinya. Kamera harus berada di dalam tasnya, seperti lipstik yang harus ada disetiap tas seorang wanita.

Bung EG sedang memberikan tanggapannya

Acara yang di pandu oleh presenter cantik Tina Talisa, dilanjutkan dengan tanya jawab dengan para undangan. Banyak yang memberikan apresiasi atas diterbitkannya buku ini. Salah satunya adalah seorang undangan mengatakan bahwa buku ini adalah sebuah Satir ala Jawa. Sebuah sindiran tapi diungkapkan dengan sopan santun. Apakah Pak Beye akan marah jika membaca buku ini? pasti marah, tapi sebagai seorang Jawa, marahnya dalam hati saja, lanjutnya langsung disambut tawa undangan.

Mas Inu mendadak menjadi selebritis dimintai tanda tangan :)

Acara diakhiri dengan pembagian 5 (lima) hadiah berupa buku dan t-shirt kompasiana bagi undangan yang bisa menjawab pertanyaan Mas Inu seputar buku ini. Dan salah satunya adalah saya yang beruntung mendapatkannya.

Terima kasih ya Mas Inu, ditunggu buku berikutnya.

Tulisan ini juga dimuat di : http://hiburan.kompasiana.com/group/buku/2010/08/05/membedah-pak-beye-dan-istananya/