Hampir setiap hari selalu melawati kota Depok. Memiliki tempat tinggal di Kota Bogor membuat saya harus pergi-pulang ke Jakarta setiap hari untuk bekerja, kecuali hari sabtu-minggu, tentu saja. Adapun transportasi yang saya gunakan adalah Kereta Rel Listrik (KRL) Jabodetabek sehingga mau tidak mau harus melewati kota ini. “Depok +93”. Itulah tanda jika kita akan memasuki Stasiun Depok. +93 sendiri menunjukkan bahwa stasiun tersebut berada di ketinggian 93 meter diatas permukaan laut.
Uploaded with ImageShack.us
Suasana Stasiun Depok di pagi hari
Berdasarkan pandangan mata setiap hari yang terlihat, jumlah penumpang KRL Jabodetabek Kota Depok sepertinya lebih banyak dibandingkan dengan Kota Bogor. Hal ini terlihat dari jumlah penumpang saat berangkat dari Stasiun Bogor. Kondisi cukup padat, semua bangku penuh, ada beberapa orang yang berdiri. Namun setelah masuk Stasiun Depok Lama kereta menjadi padat , gerbong penuh dengan orang yang berdiri. Memasuki Stasiun Depok Baru kereta bertambah padat, orang yang berdiripun semakin rapat. Kereta yang sudah penuh sesak masih saja dimasuki penumpang yang mungkin takut terlambat masuk kantor. Itu yang terjadi di kereta Pakuan Express ber-AC. Saya tidak bisa membayangkan apa yang terjadi di kereta Ekonomi. Namun dari apa yang saya lihat saat jam-jam puncak, lantai 2 pun (baca: atap gerbong) penuh oleh penumpang yang tidak kebagian tempat di gerbong utama. Padahal sudah ada kereta Depok Ekspess dan Ekonomi -AC Depok yang melayani penumpang dari Stasiun Depok, namun mungkin masih belum cukup akibat banyaknya penumpang asal Depok dan sekitarnya.
Begitu pula sebaliknya saat jam kantor selesai. Di Stasiun Dukun Atas (atau Stasiun Sudirman), dimana saya naik, selalu padat. Namun ketika memasuki Stasiun Depok Baru, jumlah penumpang berkurang drastis sekitar 50% dan berkurang lagi saat berhenti di Stasiun Depok Lama. Dan saat kereta menuju Stasiun Bogor jumlah penumpang kembali normal. Bahkan beberapa tempat duduk ada yang kosong.
Saat kereta penuh sesak dijejali penumpang yang akan kembali pulang, saya melihat kepedulian salah seorang wanita yang trenyuh melihat seorang ibu yang sedang hamil tua berdiri ditengah padatnya para penumpang. Sementara bangku khusus yang disediakan untuk orangtua, ibu hamil dan orang cacat, sudah terisi oleh beberapa pria yang sudah tertidur. Akhirnya dia pun berdiri merelakan tempat duduknya untuk sang ibu hamil.
“Terima kasih ya neng!” begitu ucap sang ibu hamil ketika diberikan tempat duduk.
“Nggak apa-apa bu, saya deket kok, saya turun di Depok” jawab sang wanita yang akhirnya berdiri tepat didepan ibu hamil, persis disamping saya.
Percakapan dengan ibu hamil berlanjut. Ternyata sang wanita adalah seorang mahasiswi yang baru lulus dan langsung diterima kerja di sebuah kantor di bilangan Sudirman Jakarta. Harga sewa kos dan biaya hidup yang murah, menjadi pertimbangan baginya untuk tetap tinggal di Depok. Selain itu, lanjut sang wanita, sudah terlanjut cinta dengan kota yang memiliki julukan kota belimbing itu. Empat tahun waktu dihabiskannya saat kuliah tidak terasa telah berakhir. Rencananya, sambil bekerja, dia akan mencari beasiswa untuk melanjutkan kuliahnya ke jenjang S-2 di kampusnya yang dikenal sebagai kampus perjuangan itu.
Depok baginya sudah seperti rumah kedua. Orangtuanya tinggal di Lampung. Semenjak kuliah dia hidup mandiri sebagai mahasiswi. Kota ini seperti sebuah kota metropolitan namun dalam skala kecil. Hampir segalanya ada disini. Mulai dari sekolah dasar sampai pendidikan tinggi bertebaran dimana-mana. Atau tempat belanja mulai pasar tradisional sampai mall ada disini. Termasuk perumahan, mulai dari perumnas, real estate sampai apartemen. Jika ingin kulineran semua ada di Jalan Margonda Raya walaupun kerap dilanda kemacetan. Semua itu sudah lebih dari cukup baginya, walaupun kadang-kadang sering dijengkelkan oleh kemacetan yang sudah menyebar kemana-mana. Ada satu yang dikhawatirkan oleh wanita yang ternyata bernama Ayu ini, dia khawatir Kota Depok yang multi etnis, akan tumbuh menjadi kota yang individualistis, sebagaimana layaknya kota metropolitan yang sudah tidak peduli dengan lingkungan sekitar termasuk dengan tetangga terdekat bahkan kota tempat tinggalnya sekalipun.
Ayu selalu berusaha peduli dengan lingkungan sekitarnya dan menyebarkan “virus-virus” kepeduliannya dengan teman dan tetangga dekatnya. Setiap dia pulang kampung, tetangganya pasti dibawakan oleh-oleh walaupun cuma sekedar keripik pisang rasa coklat khas daerahnya. Atau ikut berpartisipasi dalam acara Tujuhbelasan walaupun cuma sebagai tim hore. Lain waktu kerja bhakti membersihkan got juga dilakoninya.
Tanpa terasa kereta sudah sampai di Stasiun Depok Baru dan Ayu pun segera bergegas turun dan menghilang ditengah kerumunan orang yang akan kembali pulang ke rumah masing-masing.
Semoga kepedulian seorang Ayu, menjadi gambaran masyarakat Depok secara keseluruhan. Seseorang yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi, senang berbagi dengan sesama dan selalu mencintai kota yang kini ditinggalinya.
Dan tulisan “Depok +93” pun terlewati, kereta melaju kencang menuju Bogor.
Antara Pria, Sepatu dan Dunia Digital
9 years ago
1 comments:
Saya juga tinggal di Depok
Post a Comment