April 25, 2012

Pedang Asmara Berujung Duka (Bagian 2)

Yang Anda baca kali ini adalah sebuah cerita berantai yang saya buat, lanjutan dari cerita @mataharitimoer Pedang Asmara Berujung Duka (Bagian 1) dan akan dilanjutkan oleh @margeraye. Kami masuk dalam grup 3 proyek penulisan cerita berantai bertitel 3 PENGUASA, yg digelar Blogor, dengan pengelolaan oleh @WKF2010. Selamat membaca.


Suasana Kota Raja sore itu begitu mencekam. Dimana-mana terdapat para prajurit kerajaan dengan wajah yang sangat tegang. Mereka berpatroli keliling desa mencari para pemberontak yang disinyalir akan menggulingkan kekuasaan Maharaja Cemanibuwana. Sutan Batu Giok duduk menghadap sang raja dan berkata : “ Paduka Yang Mulia, negara dalam keadaaan genting. Rakyat sudah mulai memberontak di berbagai dusun. Sebaiknya paduka meninggalkan istana sekarang juga ke tempat yang lebih aman.”
“TIDAK!” jawab sang paduka tegas. “Aku tidak akan meninggalkan kerajaan ini. Sejengkalpun. Walaupun nyawa taruhannya!”

“Baiklah jika itu titah sang paduka!” ucap sang patih sambil mundur teratur meninggalkan istana. Sutan Batu Giok terlihat geram dengan keputusan sang raja. Matanya liar menjilat jilat sekelilingnya. Tangannya mengusap-usap batu giok kesayangannya sambil lirih berkata, “sabar, nanti ada waktunya..”

***
Sudah hampir satu pekan Maharaja Cemanibuwana tidak bisa tidur. Pikirannya tercurah akan masa depan kerajaannya. Dia tahu bahwa Sutan Batu Giok mengincar posisinya saat ini. Dia juga sudah tahu bahwa para hulubalang sudah mendukung keputusan Sutan Batu Giok karena mereka dijanjikan tanah dan upeti yang lebih besar dari sekarang. Picik sekali pikiran orang ini, renung sang Maharaja. Tersirat dalam pikirannya bahwa kerajaan akan diserahkan kepada putri satu-satunya Maharani Wigati. Namun dia masih meragukan kemampuannya menjalankan kerajaan ini. 

Tiba-tiba terdengar keributan dari kejauhan. Terdengar suara orang kesakitan dari dari arah pintu gerbang kerajaan. Sekonyong-konyong pasukan berkuda datang menyerbu jantung istana : Ruangan Maharaja! Sepuluh pengawal melingkari melindungi sang Maharaja dengan tameng dan pedang menghunus. Namun tiba-tiba semua berbalik dan siap menyerang sang Raja!

“Oh, ternyata kalian semua kacungnya Batu Giok!” tiba-tiba sang Raja melemparkan sebuah benda bulat dan semua ruangan dipenuhi asap pekat. Dan Sang Raja menghilang ditengah kekacauan tersebut. Tiba-tiba Sang Raja berada di ruang bawah tanah. Bergegas menuju sebuah ruangan dengan pintu menggantung setengah bagian. Membangunkan kuda kesayangannya. “Kita harus pergi dari tempat ini!” sambil menepuk punggung kuda hitam jagoannya. “Gunung Hambalang!” bisiknya dan Si Ringo pun berlari melesat ditengah kegelapan malam, meninggalkan istana yang sedang gaduh. Sejenak sang Raja melirik istananya. Matanya tertuju pada sebuah ruangan. Kamar putri satu-satunya Maharani Wigati. “Aku akan kembali, nak..” ucapnya lirih. Tak terasa air mata menetes di pipinya.

***

Pendekar Macan Tidur tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Seekor gagak tua menghampirinya sambil mematuk-matur telinga sang pendekar. “Wah kita kedatangan tamu rupanya!” Sang pendekar segera bergegas turun, menelusuri gua yang gelap dan bersiap memasang kuda-kuda tepat didepan air terjun yang menutupinya. Ya gua itu terletak dibalik air terjun yang cukup deras. Hanya orang-orang tertentu saja yang mengetahuinya. Tiba-tiba masuk kepala seekor kuda, sementara badannya dibiarkan tersiram air terjun. “Hei Ringo!” teriak sang pendekar. Setelah mendapat sambutan hangat Ringo memberanikan masuk ke dalam gua. Dan Sang Maharaja duduk diatasnya.

“Kakak pertama!” sang pendekar terdengar kaget dengan kedatangan sang Raja. “Pasti ada sesuatu yang sangat genting hingga kakak kembali ke tempat ini!” Sambut sang pendekar. “Benar!” sahut sang Raja. “Batoe Giok mengkhianatiku!” lanjutnya. Keduanya saling bertatapan tajam. Ada kekecewaan yang mendalam dari sorot mata sang raja. “Maharani masih diistana. Mungkin disandera oleh si bangsat itu!” geramnya. 

Tidak lama terdengar kembali suara detak kaki kuda mendekat kediaman Pendekar Macan Tidur. “Siapa lagi yang datang” gumamnya. “Jangan2 pasukan Batu Giok!” bisik sang Raja. Macam tidur menempelkan telunjuk pada mulutnya. Sekonyong-konyong hadir sekelebat bayangan putih dihadapan keduanya. “Ah kau rupanya...” hardik Macan Tidur kepada tamu keduanya di hari itu. “Ah sekalinya kedatangan tamu dalam satu dasawarsa langsung dua orang!”

“Tiga!” sosok tamu wanita muncul dari derasnya air terjun. Keduanya adalah Pendekar Asmara Berujung Duka dan Dewi Kencanawungu. Dewi langsung berlutut sambil menyatukan kedua lengannya ketika melihat sang Raja. “Salam, Paduka!” ucapnya seraya memejamkan mata dan menunduk. Sementara Pendekar Asmara Berujung Duka hanya berkata, “Kakak pertama, Kakak kedua, ternyata telepati kita masih kuat! Ada apa gerangan? Apa yang bisa kami bantu?”

Akhirnya Maharaja Cemanibuwana menjelaskan semuanya. Pendekar Macan Tidur geram sekali dibuatnya. “Batu Giok sialan itu benar-benar membangunkan macam tidur dengan tingkahnya...!” Dewi Kencanawungu hanya terdiam dan terpaku ketika baru mengetahui bahwa ketiganya adalah saudara seperguruan murid dari Pangeran Cahaya Matahari Timur, yang tidak lain adalah kakek buyutnya.

Bagaimana kisah kelanjutan cerita ini?

Simak cerita dari @margeraye
   

4 comments:

melly said...

beraaat..cerita yg berat :(

mt said...

hahaha gokil ah, sutan batugiok :))
jadi pemberontak.

duh kenapa di akhir cerita gue jadi merasa tua banget yak?

Harrisma said...

@melly: masih ada waktu 3x24jam, silahkan bertapa dulu di gunung hambalang

@MT: soetan batu giok hahaha.. bayangin aja wajahnya...xixixi

Mew da Vinci said...

Keren banget! Kayak lagi nostalgia ke masa-masa film Mak Lampir dan Si Buta dari Gua Hantu masih berjaya...